Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Just Human

Total Tayangan Halaman

Minggu, 03 April 2011

Atheisme by Neitsche

Fridrich Neitsche adalah salah satu filsifut besar pada zaman modern ini, pemikirannya berbeda dengan pemikiran filsuf lainnya. Ia dikenal sebagai seorang pemberontak terhadap kemapanan pemikiran dan dogmatime agama, dia merupakan filsuf yang berani mengatakan bahwa “Tuhan telah mati”. Dan juga dia merupakan pemikir yang menyererukan nihilisme, nihil dalam arti bahasa adalah kosong, sedangkan yang dimaksud dengan nihilism adalah mengkosongkan, meniadakan, memusnahkan, menghapus dan meleyapkan exsistensialisme. karena ia menganggap bahwa nihilismelah yang dinilai sebagai sebuah kebajikan utama, menggantikan nilai-nilai moralitas yang menurutnya telah basi atau telah usang.
Filsuf ini adalah seorang yang tak kenal lelah mencari kebenaran. Ia pernah mengatakan “ jika engkau ingin menjadi murid kebenaran, maka carilah” katanya. Ia selalu memprovokasi pembacanya untuk tak berhenti pada satu kebenaran atau satu keyakinan saja. Ia mengajak orang-orang untuk mepertanyakan ulang apa yang tabu, bahkan haram untuk disentuh.
Dari keberaniaan pemikirannya, ia sering disebut sebagai orang gila. Karena dianggap bahwa pemikirannya telah keluar dari pemikiran-pemikiran filsuf atau pemikira sebelum dia. Lebih- lebih ia merupakan filsuf yang paling gencar mengatakan bahwa tuhan telah mati.
Neitsce berpandangan bahwa tuhan adalah sekedar ilusi, tuhan menurutnya adalah sekedar ide manusia, maka dari itu manusia harus keluar dari dogma-dogma agama, karena menurutnya karena tuhan inilah manusia menjadi lemah, kehilangan diri sendiri, jadi manusia haruslah menjadi diri sendiri.
Inilah pemikiran Neitsche yang ditentang banyak orang, karena ia dianggap seorang Atheisme (seorang yang tidak percaya akan adanya tuhan), seorang Atheis yang jujur. Dia dianggap orang gila, karena kegilaannya inilah ia dikenang sebagai filsuf besar, yang menyerukan bahwa tuhan telah mati.
Ini adalah salah satu tulisannya.
"Tuhan sudah mati" ("Gott ist tot"). 
“Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan Tuhan]?”