Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Just Human

Total Tayangan Halaman

Minggu, 06 Februari 2011

Awal Perselisihan Umat ( Saqifah Bani Sa'idah)

Thabari menceritakan peristiwa ini secara rinci di dalam kita tarikhnya, jilid 2, terbitan al-Istiqlal Kairo, tahun 1358 Hijrah, atau bertepatan dengan tahun 1939 Masehi. Kita akan menukilkannya secara ringkas, sesuai kebutuhan, dari halaman 455 – 460 sebagai berikut:

“Orang-orang Anshar telah berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka meninggalkan jenezah Rasulullah saw yang sedang dimandikan oleh keluarganya.

Mereka berkata, ‘Kami menyerahkan urusan ini kepada Sa’ad bin ‘Ubadah sepeninggal Rasulullah saw. Kemudian mereka menghadirkan Sa’ad bin ‘Ubadah ke tengah-tengah mereka yang ketika itu sedang sakit.

Maka Sa’ad bin ‘Ubadah pun mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, lalu dia menyebutkan kedahuluan mereka di dalam agama, keutamaan-keutamaan mereka di dalam Islam, pemuliaan mereka terhadap Rasulullah dan para sahabatnya, serta jihad mereka di dalam melawan musuh-musuhnya, sehingga bangsa Arab tegak dan Rasulullah saw meninggal dunia dalam keadaan rida kepada mereka.

Sa’ad bin ‘Ubadah berkata, ‘Maka gengamlah kuat-kuat urusan ini, jangan sampai orang lain yang menggenggamnya.

’ Orang-orang Anshar menjawab, ‘Sungguh tepat pendapat Anda, dan sungguh benar perkataan Anda. Kami tidak akan melanggar apa yang Anda perintahkan, dan akan kami angkat Anda sebagai pemimpin. 
Dan kaum Muslimin yang saleh tentu akan menyenangi.’Kemudian mereka saling bertukar kata di antara mereka.

Sebagian di antara mereka berkata, ‘Bagaimana apabila kaum Muhajirin menolak dan berkata, ‘Kami adalah kaum Muhajirin dan sahabat-sahabat Rasulullah saw yang pertama, kami adalah keluarganya dan wali-walinya,

maka kenapa Anda hendak bertengkar dengan kami mengenai kepemimpinan sesudah Rasulullah saw?’ Lalu sebagian mereka yang lain berkata, ‘Jika demikian, maka kita akan menjawab, ‘Seorang pemimpin dari kami, dan seorang pemimpin dari kamu. Selain begini, kita sama sekali tidak akan rela. 

Kita adalah pemberi perumahan, pelindung dan penolong, sementara mereka yang melakukan hijrah.

Kita berpegang kepada Al-Qur’an sebagaimana mereka. Apa pun alasan yang mereka ajukan, kita akan mengajukan dalil yang sama. Kita tidak hendak memonopoli kekuasaan terhadap mereka, maka bagi kita harus ada seorang pemimpin dan bagi mereka seorang pemimpin.

’ Maka berkatalah Sa’ad bin ‘Ubadah, ‘lniah awal kelemahan!

’Abu Bakar dan Umar mendengar apa yang tengah dilakukan oleh orang-orang Anshar, maka mereka berdua pun bergegas pergi ke Saqifah dengan ditemani oleh Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, dan kemudian bergabung bersama mereka Usaid bin Hudhair, ‘Awim bin Sa’idah dan ‘Ashim bin ‘Adi, dari kalangan Bani ‘Ajlan. 

Kemudian Abu Bakar berbicara, setelah sebelumnya melarang ‘Umar berbicara. 

Pertama-tama Abu Bakar mengucapkan puji-pujian kepada Allah SWT, dan kemudian menyebutkan kedahuluan orang-orang Muhajir di dalam membenarkan Rasulullah saw, sebelum seluruh orang Arab yang lain.

Abu Bakar berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang pertama menyembah Allah SWT di muka bumi dan beriman kepada Rasulullah saw.

Mereka itu adalah keluarganya dan wali-walinya, dan manusia yang paling berhak atas urusan ini sepeninggalnya, serta tidak ada yang bertengkar dengan mereka di dalam urusan itu kecuali orang yang zalim.

’ Kemudian Abu Bakar menyebutkan keutamaan-keutamaan orang Anshar. Setelah itu dia berkata, ‘Setelah orang-orang Muhajir yang pertama tidak ada orang yang mempunyai kedudukan di sisi kita selain orang-orang Anshar. Maka oleh karena itu kami adalah pemimpin sedangkan Anda adalah wazir (pembantu).

’Maka Hubab bin Mundzir berkata, ‘Wahai kaum Anshar, peganglah urusan Anda. Sesungguhnya manusia berada di bawah naungan Anda, dan tidak akan ada seorang pemberani yang berani menentang Anda.

Oleh karena itu, janganlah Anda berselisih, sehingga akan merasak pendapat Anda dan menodai urusan Anda.

Apabila mereka menolak kecuali sebagaimana yang telah Anda dengar, maka biarlah dari kita seorang pemimpin dan dari mereka seorang pemimpin.

’Umar berkata, ‘Demi Allah, dua pedang tidak akan masuk ke dalam satu sarung. Orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan Anda, wahai orang Anshar, karena Nabi bukan berasal dari Anda. Akan tetapi orang Arab tidak akan keberatan dipimpin oleh kaum yang Nabi berasal dari mereka. Tentang ini, kami mempunyai bukti yang jelas.

Siapa yang memperselisihkan kami atas kekuasaan Muhammad dan pemerintahannya, padahal kami adalah wali-walinya dan kaum kerabatnya.

’Hubab bin Mundzir berdiri dan berkata, ‘Wahai kaum Anshar, jangan Anda dengarkan orang-orang ini, Umar dan sahabat-sahabatnya. Mereka akan mengambil hak Anda dan merampas kebebasan kalian untuk memilih. 

Jika mereka tidak setuju, kirim mereka pulang dan biarkan mereka membentuk pemerintahannya sendiri di sana. Demi Allah, Anda lebih berhak menjadi pemimpin dari mereka. 

Karena dengan perantaraan pedang Anda, orang-orang yang sebelumnya tidak memeluk agama ini menjadi memeluk agama ini.

’Umar berkata, ‘Kalau begitu, mudah-mudahan Allah SWT membunuhmu.

’Hubab bin Mundzir berdiri, ‘Tidak, justru mudah-mudahan kamu yang dibunuh oleh Allah SWT.

’Abu ‘Ubaidah berkata, ‘Wahai kaum Anshar, Anda adalah yang pertama membela Islam, maka janganlah Anda menjadi orang yang pertama memisahkan diri dan berubah.

’Maka berdirilah Basyir bin Sa’ad al-Khazraji, ayah Nu’man bin Basyir berkata,‘Wahai kaum Anshar, kita kaum Anshar telah memerangi kaum kafir dan membela Islam bukanlah untuk kehormatan duniawi, tetapi untuk memperoleh keridaan Allah SWT. Kita tidak mengejar kedudukan.

Nabi Muhammad adalah orang Quraisy, dari kaum Muhajirin, dan layaklah sudah apabila seorang dari keluarganya menjadi penggantinya. Saya bersumpah dengan nama Allah, bahwa saya tidak akan melawan mereka. 

Saya harap Anda sekalian pun demikian.’Kemudian Abu Bakar berdiri dan berkata, ‘lni Umar, dan ini Abu ‘Ubaidah, silahkan Anda baiat yang mana saja di antara mereka yang Anda suka.

’Tetapi keduanya berkata, ‘Demi Allah, kami tidak akan mau memegang urusan ini selama Anda masih ada.’Lalu Abdurrahman bin ‘Auf berdiri dan berkata, ‘Wahai kaum Anshar, meskipun Anda berada di atas keutamaan, namun tidak ada di tengah Anda orang seperti Abu Bakar, Umar dan Ali.’ 

Mendengar itu Mundzir bin Arqam berdiri dan berkata, ‘Kami tidak menolak keutamaan orang-orang yang Anda sebutkan, namun di antara mereka ada seseorang yang jika dia menuntut urusan ini maka tidak ada seorang pun yang memperselisihkannya, yaitu Ali bin Abi Thalib.’(Maka orang-orang Anshar atau sebagian orang Anshar berkata, ‘Kami tidak akan membaiat kecuali Ali.’)

(Umar berkata, ‘Suasana menjadi hangat dan suara-suara menjadi keras, dan untuk menghindari perpecahan saya berkata, ‘Bentangkan tangan Anda, wahai Abu Bakar, supaya aku membaitmu!’) 

Manakala keduanya bangkit hendak membait Abu Bakar, Basyir bin Sa’ad men-dahului keduanya membait Abu Bakar.Hubab bin Mundzir berteriak kepada Basyir bin Sa’ad,

‘Wahai Basyir bin Sa’ad! Hai orang durhaka, orang tuamu sendiri tidak menyukaimu.

Engkau telah menyangkal ikatan keluarga, engkau dengki dan tidak mau melihat saudara sepupumu menjadi pemimpin.

’Basyir bin Sa’ad berkata, ‘Tidak, demi Allah, aku tidak mau berselisih dengan satu kaum tentang suatu hak yang telah Allah SWT jadikan untuk mereka.’ 

Manakala kaum Aus melihat apa yang telah dilakukan Basyir bin Sa’ad, apa yang diseru oleh kaum Quraisy dan apa yang diminta oleh kaum Khazraj untuk menjadikan Sa’ad bin ‘Ubadah sebagai pemimpin, sebagian mereka berkata kepada sebagian mereka yang lain, di antaranya adalah Usaid bin Hudhair, ‘Demi Allah, bila kaum Khazraj sekali berkuasa atas dirimu, mereka akan seterasnya mempertahankan keunggulannya atas diri kamu, dan tidak akan pernah membagi kekuasaan itu kepadamu untuk selama-lama-nya;

maka berdirilah, dan baiatlah Abu Bakar.’Maka mereka pun berdiri dan membaiatnya. Dan hancurlah kesepakatan yang telah mereka peroleh atas Sa’ad bin ‘Ubadah dan kaum Khazraj.

Orang-orang berdatangan dari semua sudut untuk membaiat Abu Bakar, hingga hampir saja mereka menginjak Sa’ad bin ‘Ubadah.

Para sahabat Sa’ad bin ‘Ubadah berkata, ‘Hati-hati, jangan sampai menginjak Sa’ad.’

Pada saat itu Umar berkata, ‘Bunuh dia, mudah-mudahan Allah membunuhnya.

’Kemudian Umar mendekatinya seraya berkata, ‘Saya ingin menginjak-injak engkau sampai remuk.

’Putra Sa’ad bin ‘Ubadah, Qais, menjambak janggut Umar dan berkata kepadanya, ‘Bila engkau menyentuh sehelai saja rambutnya, aku akan rontokkan semua gigimu!

’Abu Bakar berteriak, ‘Tenang Umar! Dalam keadaan seperti ini kita harus tenang.

’Maka Umar pun pergi meninggalkan Sa’ad, tetapi Sa’ad berteriak, ‘Demi Allah, seandainya aku dapat berdiri, aku akan membuat huru hara di kota Madinah, agar engkau dan teman-temanmu bersembunyi ketakutan. Kemudian aku akan menjadikanmu pelayan, bukan penguasa.

Bawa aku dari tempat ini.’ Maka mereka pun membawa Sa’ad bin ‘Ubadah dan memasukkannya ke dalam rumahnya…”Kejadian ini tidak memerlukan penjelasan dan komentar lagi, dia sendiri dapat menyingkap bagaimana proses terjadinya pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah… Sungguh proses tersebut jauh sekali dari proses musyawarah.

Musyawarah tidak layak dilakukan di tempat yang tidak tepat ini, di mana Saqifah Bani Sa’idah terletak di sebuah ladang di luar kota Madinah. Tentunya Mesjid Rasulullah saw lebih utama untuk dijadikan tempat melakukan hal ini.

Karena Mesjid Rasulullah saw adalah tempat berkumpulnya kaum Muslimin dan tempat dilakukannya musyawarah untuk membahas urusan-urusan dunia dan urusan-urusan agama.

Di samping juga waktunya tidak sesuai, karena jenazah Rasulullah saw masih terbujur dan belum di-makamkan.

Bagaimana bisa mereka meninggalkan jenazah Rasulullah saw dalam keadaan seperti ini, untuk memperebutkan urusan kekhalifahan, sementara sahabat-sahabat besar sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah saw.Apakah ada seorang yang berakal yang menamakan peristiwa ini sebagai musyawarah?!

Pada kenyataannya mereka tidak sedang mencari kekhilafahan Islam yang mendapat petunjuk, yang dengan perantaraannya akan terjaga persatuan dan eksistensi kaum Muslimin. Kata-kata yang mereka ucapkan memberi petunjuk kepada hal ini.

Kata-kata Sa’ad yang berbunyi, “Maka genggamlah kuat-kuat urusan ini, jangan sampai orang lain yang menggenggamnya”, lalu orang-orang Anshar menjawab, “Sungguh tepat pendapat Anda, dan sungguh benar perkataan Anda. Kami tidak akan melanggar apa yang Anda perintahkan”, 

dan begitu juga kata-kata Umar yang berbunyi, “Siapa yang memperselisihkan kami atas kekuasaan Muhammad dan pemerintahannya?”Seluruh kata-kata ini menyingkap jati diri mereka. Mereka tidak menginginkan apa-apa kecuali kekuasaan.

Di samping kata-kata kasar yang terjadi di antara para sahabat, padahal Rasulullah saw telah bersusah payah mendidik mereka selama dua puluh tiga tahun.

Misalnya perkataan Umar terhadap Hubab, “Mudah-mudahan Allah membunuhmu”,

dan begitu juga perkataan Hubab terhadap Umar, “Tidak, justru mudah-mudahan engkau yang dibunuh oleh Allah.” 

Atau perkataan Umar kepada Sa’ad bin Ubadah, “Bunuhlah dia, mudah-mudahan Allah membunuhnya.” 

Atau perkata-an Umar yang lain kepada Sa’ad, “Saya akan menginjak-injak engkau hingga remuk.” 

Atau perkataan Qais bin Sa’ad kepada Umar sambil menjambak janggutnya, “Demi Allah, apabila engkau sentuh satu helai saja dari rambutnya, aku akan rontokkan semua gigimu.” 

Semua ini memberikan gambaran yang jelas bagi Anda.Kata-kata keji yang seperti ini yang dilontarkan di tempat pemilihan yang sangat sensitif ini, hingga sampai tahap ancaman, pemukulan dan ajakkan untuk membunuh, semua ini menunjukkan betapa orang-orang yang berkumpul tersebut dipenuhi dengan rasa kedengkian dan permusuhan terhadap satu sama lain.

Bagaimana mungkin kita bisa menerima musyawarah dari orang-orang seperti mereka —itu pun apabila musyawarah itu sah.Kemudian, lihatlah kata-kata dan argumentasi yang mereka lontarkan terhadap satu sama lain, semua itu adalah argumentasi yang kosong dan jauh dari kebenaran.

Sebagai contoh —misalnya— argumentasi Umar, yang merupakan argumentasi yang paling kuat, “Orang Arab tidak akan menerima kepemimpinan Anda, wahai orang Anshar, karena Nabi bukan berasal dari Anda. Akan tetapi orang Arab akan menerima dipimpin apabila oleh kaum yang Nabi berasal dari mereka.”Jika orang Arab tidak menerima kepemimpinan orang yang jauh dari Rasulullah saw, maka tentu mereka akan menerima kepemimpinan orang yang paling dekat hubungannya dengan Rasulullah saw, yaitu Ali bin Abi Thalib as. Oleh karena itu, Amirul Mukminin as berhujjah, “Mereka berhujjah dengan pohan kenabian namun mereka meninggal-kan buahnya.”[92]

Jika orang Arab tidak menerima kepemimpinan Ali as, maka tentu mereka lebih tidak menerima lagi kepemimpinan seorang laki-laki yang berasal dari kabilah Tim. 

Jika ini yang menjadi hujjah mereka, maka tentu hal ini akan menjadi hujjah yang kuat bagi Ali as Abu Bakar al-Jawahiri berkata tentang argumentasi Ali as, “Ali berkata, ‘Saya adalah hamba Allah dan saudara Rasulullah.’ Berita itu sampai kepada Abu Bakar. Lalu Abu Bakar berkata kepada Ali, ‘Berbaiatlah.’ Ali as menjawab, ‘Aku lebih berhak dari Anda atas kepemimpinan ini. Aku tidak akan berbaiat kepada Anda, justru Anda yang lebih layak berbaiat kepadaku. Anda telah merebut kepemimpinan ini dari kaum Anshar dengan berhujjah kepada mereka dengan kekerabat-an Anda dengan Rasulullah, maka mereka pun menyerahkan kepe-mimpinan kepada Anda. 

Dan sekarang saya mengajukan hujjah yang sama dengan hujjah yang Anda ajukan kepada orang-orang Anshar. Maka bersikap adillah kepada kami, jika Anda memang mengkhawatirkan Allah atas diri Anda. 

Dan berikanlah pengakuan yang serupa kepada kami sebagaimana yang telah diberikan oleh kaum Anshar kepada Anda. Jika tidak, maka berarti Anda telah berlaku zalim dan Anda mengetahuinya.’Umar berkata kepada Ali, ‘Anda tidak akan dibiarkan hingga Anda berbaiat.’Ali menjawab, ‘Anda sedang memerah susu untuk Abu Bakar dan diri Anda sendiri. Anda bekerja untuknya hari ini, dan besok dia akan mengangkat Anda menjadi penggantinya. Demi Allah, saya tidak akan menerima kata-kata Anda, dan tidak akan mengikuti Anda.’”[93]

Mereka berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan baiat dari Ali, bahkan dengan cara kekerasan sekali pun.Umar berkata, “Kita mendapat kabar bahwa Ali dan Zubair serta orang-orang yang bersamanya memisahkan diri dari kita dan ber-kumpul di rumah Fatimah.”[94]

Kemudian Umar datang beserta rombongannya dengan membawa kayu bakar dan bermaksud membakar rumah Fatimah. Maka Fatimah datang menemui mereka dan berkata, “Apakah Anda datang dengan maksud hendak membakar rumah kami, wahai Putra Khattab?”Umar menjawab, “Ya, atau Anda semua melakukan sebagaimana yang telah dilakukan oleh umat.”[95]

Dalam kitab Ansab al-Asyraf disebutkan,“Fatimah menemui Umar di pintu dan berkata kepadanya,‘Wahai Putra Khattab, apakah Anda akan tetap membakar rumah sementara aku berada di belakang pintunya?’Umar menjawab, ‘Ya.’”[96]

Para sejarahwan mencatat orang-orang yang datang menyerbu untuk membakar rumah Fatimah:1. Umar bin Khattab.2. Khalid bin Walid.3. Abdurrahman bin ‘Auf.4. Tsabit bin Qais bin Syammas.5. Ziyad bin Labid.6. Muhammad bin Muslim.7. Zaid bin Tsabit.8. Salmah bin Salamah bin Waghasy.9. Salmah bin Aslam.10. Usaid bin Hudhair.Ya’qubi berkata, “Mereka datang berkelompok menyerang rumah, hingga pedang Ali patah dan mereka masuk ke dalam rumah.”[97]

Thabari berkata, “Umar memasuki rumah Ali, sementara di dalam rumah ada Zubair, Thalhah dan beberapa orang dari kaum Muhajir. Kemudian Zubair keluar dengan pedang terhunus, namun dia tergelincir dan pedangnya lepas dari tangannya. Maka mereka pun menangkap dan membawanya.”[98]

Fatimah melihat apa yang dilakukan Umar terhadap keduanya – Ali dan Zubair— maka dia berdiri di samping pintu kamar dan berkata, “Hai Abu Bakar, alangkah cepatnya Anda menyerang keluarga Rasulullah. Demi Allah, saya tidak akan berbicara dengan Umar sampai saya menemui Allah.”[99]

Karena peristiwa ini dan juga karena peristiwa penahanan warisan yang diterimanya dari Rasulullah saw serta peristiwa-peristiwa lainnya, Fatimah marah kepada Abu Bakar, dan tidak mau berbicara dengannya hingga meninggal dunia. Fatimah az-Zahra hidup selama enam bulan sepeninggal Rasulullah saw. Ketika Fatimah az-Zahra wafat, jenazahnya dikuburkan oleh suaminya pada malam hari, dan tidak diizinkan Abu Bakar untuk melihat jenazahnya.[100]

Pada sebuah riwayat disebutkan bahwa Fatimah az-Zahra berkata kepada Abu Bakar, “Demi Allah, saya akan mendoakan keburukan bagimu pada setiap salat yang saya kerjakan.”[101]

Oleh karena itu, Abu Bakar berkata pada saat hendak meninggal dunia, “Tidak ada satu pun yang saya sesali dari dunia ini kecuali tiga hal yang telah saya lakukan. Saya sangat berharap tidak melakukannya.” (Hingga dia mengatakan), “Adapun ketiga hal yang telah saya lakukan itu: Saya sangat berharap tidak membuka paksa rumah Fatimah, meski pun mereka menguncinya untuk melakukan peperangan.”[102]

Di dalam Tarikh Ya’qubi disebutkan, “Oh, seandainya saya tidak membuka paksa rumah Fatimah dan memasukkan orang-orang ke dalamnya meski pun mereka menguncinya untuk melakukan peperangan.”[103]

Seorang penyair Mesir, Hafidz Ibrahim, menulis di dalam syairnya,“Kepada Ali, Umar berkata, ‘Rumahmu akan kubakar! Bila engkau tidak berbaiat kepada Abu Bakar’Meski pun Fatimah putri Musthafa ada di dalam Abu Hafshah tidak segan melawan Ali, pahlawan Adnan.”Tidak hanya sampai di situ, bahkan mereka mengancam akan membunuh Ali.

Mereka menyeret Ali dengan paksa keluar dari rumahnya, dan membawanya ke hadapan Abu Bakar. Mereka berkata, “Berbaiatlah.” Ali berkata, “Kalau aku tidak mau, bagaimana?”Mereka menjawab, “Kalau demikian, demi Allah, kami akan penggal kepalamu.” Ali menjawab, “Kalau begitu, kamu akan memenggal kepala hamba Allah dan saudara Rasulullah?”[104]

Kekhalifahan yang dimulai dengan pemaksaan dan diakhiri dengan ancaman pembunuhan tidak dapat menjadi bukti bagi konsep musyawarah.Ketika Abu Bakar dan Umar menyadari keburukan yang telah dilakukannya, mereka datang untuk meminta maaf kepada Fatimah. 

Namun kesempatan telah terlambat.Fatimah berkata kepada mereka, “Apakah Anda mau mendengar apabila aku katakan kepada Anda suatu perkataan yang berasal dari Rasulullah saw, yang Anda kenal dan Anda telah berjuang untuk beliau?”Mereka berdua menjawab, “Ya.”Kemudian Fatimah berkata, “Apakah Anda tidak mendengar Rasulullah saw telah bersabda, ‘Keridaan Fatimah adalah keridaanku, dan kemarahan Fatimah adalah kemarahanku. Barangsiapa yang mencintai Fatimah, Puteriku, maka berarti dia telah mencintaiku, dan barangsiapa yang membuat Fatimah marah, maka berarti dia telah membuatku marah?”

Mereka berdua menjawab, “Ya, kami telah mendengarnya dari Rasulullah saw.”Kemudian Fatimah berkata, “Saya bersaksi kepada Allah para malaikat-Nya, sesungguhnya Anda berdua telah membuat saya marah dan Anda berdua telah membuat saya tidak rida. Seandainya kelak saya bertemu dengan Nabi saw, saya akan adukan Anda berdua kepada beliau.”Selanjutnya Fatimah berkata kepada Abu Bakar, “… Demi Allah, saya akan mendoakan keburukan bagimu pada setiap salat yang saya kerjakan.”[105]

Demikianlah, Abu Bakar tidak berhak atas kekhalifahan kaum Muslimin melalui syura. Karena musyawarah tersebut tidak sah secara teoritis, dan tidak ada wujudnya dalam tataran kenyataan. 

Jika kita tetap mengakui bahwa Abu Bakar telah memperoleh kekhalifahan kaum Muslimin melalui syura, dan itu merupakan satu-satunya cara untuk itu, maka yang perlu kita tanyakan ialah, atas hak apa Abu Bakar mengangkat Umar menjadi khalifah sepeninggalnya?

Oleh karena itu, Abu Bakar dan kekhalifahannya menghadapi dua masalah:Pertama, musyawarah sebagai jalan yang Allah SWT tetapkan untuk mengangkat seorang khalifah. Maka di sini berarti Abu Bakar telah membangkang perintah Allah SWT dengan mengangkat Umar sebagai khalifah penggantinya, tanpa proses musyawarah.Kedua, musyawarah bukan merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Maka dengan demikian kekhalifahan Abu Bakar tidak sah, karena muncul melalui musyawarah yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT.Demikian juga kekhalifahan Umar dan Usman tidak sah, kecuali kekhalifahan Ali as.

Seluruh umat sepakat untuk membaiat Ali setelah Usman terbunuh, di samping nas-nas dari Allah dan Rasul-Nya yang menunjukkan kepada kekhalifahan dan keimamahannya.

Jika di sana terdapat musyawarah maka kekhalifahan untuk Ali, dan begitu juga jika ditetapkan berdasarkan pengangkatan maka kekhalifahan tetap untuk Ali. Sebagaimana yang diceritakan secara mutawatir oleh riwayat-riwayat.

Untuk menyempurnakan pembahasan, marilah kita akhiri pembahasan ini dengan dialog berikut: Ali bin Maitsam ditanya, “Kenapa Ali duduk berdiam diri tidak memerangi mereka?”Ali bin Maitsam menjawab, “Sebagaimana duduk berdiam dirinya Harun terhadap Samiri, padahal mereka telah menyembah patung anak sapi.

Seperti Harun ketika mengatakan, ‘(Harun berkata), ‘Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah.’ (QS. al-A’raf: 150) 

Seperti Nuh tatkala berkata, ‘Aku ini orang yang dikalahkan, oleh karena itu menangkanlah (aku).’(QS. al-Qamar: 10) 

Seperti Luth tatkala mengatakan, ‘Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).’ (QS. Hud: 80)

Dan seperti Musa dan Harun tatkala mengatakan, ‘Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku.’” (QS. al-Maidah: 25)]

Makna ini dapat kita ambil dari perkataan Amirul Mukminin as manakala sampai berita kepadanya bahwa dia tidak memerangi dua orang yang pertama.

Imam Ali as berkata, “Saya mempunyai suri teladan dari enam nabi. Yang pertama ialah Ibrahim al-Khalil as, tatkala dia mengatakan, ‘Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah.’ (QS. Maryam: 48)Jika Anda mengatakan, ‘Dia menjauhkan diri dari mereka dengan tanpa ada sesuatu yang tidak disukai’, maka Anda telah kafir.Jika Anda mengatakan, ‘Dia menjauhkan diri dari mereka disebabkan dia melihat sesuatu yang tidak disukai’, maka washi dimaafkan.

Yang berikutnya adalah Luth as, tatkala dia mengatakan, ‘Seandainya aku ada mempunyai kekuatan untuk menolakmu atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).’ (QS. Hud: 80)Jika Anda mengatakan, ‘Sesungguhnya Luth mempunyai kekuatan untuk menolak mereka’, maka Anda telah kafir. Dan jika Anda mengatakan, ‘Sesungguhnya dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak mereka’, maka washi dimaafkan

Yang berikutnya adalah Yusuf as tatkala dia mengatakan, ‘Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku.’ (QS. Yusuf: 33)Jika Anda mengatakan, ‘Nabi Yusuf meminta penjara dengan tanpa adanya sesuatu yang tidak disukai yang dibenci oleh Allah SWT’, maka Anda telah kafir.Dan jika Anda mengatakan, ‘Sesungguhnya dia diajak kepada sesuatu yang dimurkai Allah’, maka washi dimaafkan.

Yang berikutnya adalah Musa as, tatkala dia mengatakan, ‘Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu.’ (QS. asy-Syu’ara: 21)
Jika anda mengatakan, ‘Sesungguhnya Nabi Musa as lari dengan tanpa ada sesuatu yang ditakutkan’, maka Anda telah kafir.Dan jika Anda mengatakan, ‘Sesungguhnya dia lari meninggalkan mereka disebabkan mereka ingin berbuat jahat kepadanya’, maka washi dimaafkan.

Yang berikutnya adalah Harun, tatkala dia berkata kepada saudaranya, ‘Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku.’ (QS. Al-A’raf: 150)Jika Anda mengatakan, ‘Mereka tidak menganggap Harun as lemah dan tidak hampir membunuhnya’, berarti Anda telah kafir.Dan jika Anda mengatakan, ‘Mereka telah menganggap Harun as lemah dan hampir membunuhnya, dan oleh karena itu dia mendiamkan mereka’, maka washi dimaafkan.

Selanjutnya adalah Muhammad saw tatkala dia lari ke gua dan meninggalkan saya di ranjangnya, dan saya mempersembahkan nyawa saya kepada Allah.
Jika Anda mengatakan, ‘Muhammad telah lari dengan tanpa adanya sesuatu yang mengancamnya dari pihak mereka’, maka Anda telah kafir. 
Dan jika Anda mengatakan, ‘Mereka telah mengancamnya, dan tidak ada jalan lain baginya kecuali lari ke gua’, maka washi dimaafkan.”Lalu orang-orang berkata, “Anda benar, wahai Amirul Mukminin.”[106]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar